Senin, 10 Oktober 2016

Cerita Pendek (Cerpen) religion

Haloooooooo :) Ini pertama kalinya aku ngepost sesuatu di sini yaaa ...
Kali ini aku bakal ngepost cerpen karya aku sendiri hihihi ...
semoga aja kalian suka dan juga bermanfaat.
dan maaf juga kalo nanti ada yang typo hahaha...
maklum ngantuk malem malem bikin :v

Happy Readinggggg :)





Si Anak Nabi

"Aku tahu Tuhan itu ada bu!  Tapi apakah penting untuk mempercayai agamanya?"
Gadis itu meneriaki orang yang dipanggilnya ibu. Sorot matanya tajam dan seketika memerah, mulutnya bergetar, tampak setitik air disudut matanya. Kemudian kaki nya melangkah mundur, berbalik dan meninggalkan bilik.
Sang ibu tertegun. Marah, Sedih, Kecewa, tak tahu disebut apa persaannya saat itu. Kaget, Ia benar benar tersentak. Tanpa sadar, air matanya turun. Menetes perlahan namun deras dan terisak. Bagaimana tidak? Inilah kali pertama putri bungsunya membentak tubuh ringkih itu. Pernyataan yang keluar dari mulut gadis itu sungguh memilukan. Terngiang selalu dan menggores batinnya.
"Ya Allah, apakah aku sudah gagal menjadi ibunya?

**Flashback**

"Arnaya Cheonsa." Gumam gadis itu sembari menuliskan namanya pada buku-buku barunya. Benar, semester baru menantinya.
"Nayyyy! Sholat dulu nak!" Suara keibuan itu menggema dari balik bilik. Menghela nafas panjang gadis itu berucap "Iya bu! Nanti du.." kalimatnya terhenti. Sang ibu sudah berada di samping nya. "Nanti dulu maksudnya?" Ucapnya.Gadis itu menunduk. "Nay, Sholat itu wajib nak. Wajib! Mau tidak mau harus dikerjakan, mampu tidak mampu harus didirikan! Berapa kali ibu harus bicara soal ini?"
"Nay tau bu." Dengan muka masam, ia berjalan menuju tempat wudhu. Ibunya tersenyum heran.
"Kenapa ia belum berubah juga?" ucapnya lirih, sambil menggelengkan kepala.

***

"Selamat pagi bu." Nay turun dari tangga dan langsung menempel pada ibunya. "Kenapa tiba-tiba Nay memeluk ibu?" Ucap sang ibu kaget. "Nay hanya gugup bu. Hari ini semester baru dimulai, dan temanku berganti. Aku harus beradaptasi dengan kelas baru."Semakin erat sang ibu dipeluknya. Ibunya tersenyum, memandangi wajah cantik putrinya. "Asalkan kamu berbuat baik, maka mereka akan baik padamu." Nay mengangguk.
Melepaskan pelukan, mereka duduk di meja makan. Hening, hanya dentingan piring dan sendok yang terdengar samar-samar. Benar saja, mereka hanya tinggal berdua di kota ini. Kota yang penuh akan kenangan.
Kakaknya bekerja sebagai duta Indonesia di Korea Selatan. Sang ayah menebaskan separuh umurnya disini, lengkap dengan seragam dinas nya ia terkapar bersimbah darah. Meninggalkan sebuah kerudung dalam tas yang digenggamnya. Nay lah yang melihat kejadian lima tahun silam itu, hal yang membuatnya pobia akan cairan merah kental yang disebut darah. Tentu saja ia menangis. Mengetahui fakta bahwa ayahnya tak bersalah. Mereka pembunuh yang dibayar untuk menyingkirkan ayah. Ya, tentu saja itu orang yang membenci ayah! ayah tidak punya musuh! Tapi mereka memusuhi ayah. Hal yang harus ia terima adalah ia terlahir sebagai anak seorang jaksa. Mereka hanya orang yang tidak tau apa itu kenyataan. Sehingga menyalahkan ayah atas kenyataan bahwa mereka bersalah.
"Ibu bilang ayah pergi ke sebuah toko untuk menghadiahi ulang tahun Nay. Kerudung itu sangat indah kata ibu, berwarna merah kesukaan Nay, kainnya dingin dari sutra. Ibu bilang Nay terlihat sangat cantik jika memakainya. Tapi... kenapa ibu membuangnya?"

***

"Apa bangku ini kosong?" Nay menunjuk bangku paling depan dekat dengan pintu. Seorang gadis cantik menatap nay dan mengangguk. Kulitnya putih namun pucat. Nay pernah melihatnya, ia adalah tetangga kelas Nay ketika ia kelas sepuluh. Gadis itu memang aneh, ia tidak pernah bersosialisasi layaknya remaja pada umumnya. Hanya ada Al-qur'an dan mukena di dalam tasnya, semua bukunya tertata rapi di loker kelas. Semua waktu luangnya ia habiskan di Musholla. Anak nabi, begitu mereka menyebutnya. Namanya Aira, dan sekarang ia adalah teman sebangku Nay.
"Kelas ini berbeda." Gumam Nay memandangi ruang kelas barunya. Bak pemakaman umum, sepi suram.
"Aira apa kamu tidak lapar?Apa tidak bisa kita pergi makan?" Celetus Nay mengajak bicara. Aira  tersenyum "Maaf Aku puasa." Nay mendengus "Ibuku juga sangat senang berpuasa. Padahal itu sangat menyiksa." Aira hanya diam, namun raut wajahnya menunjukkan ia tidak senang akan ucapan Nay, raut wajah itu seketika berubah menjadi kaget. "Astaghfirullah!!" Ucap Aira. "Kenapa kamu lepas hijabmu Nay?"
Nay tertawa. "Gerah sekali disini. Lagipula tidak ada ibu kan disini." merapikan rambut, Nay tersadar "Eh? Kamu mengajakku bicara? Aku kira kamu tidak akan bicara jika tidak ditanya."
Mendengarnya Aira kembali terdiam. Tatapan mereka beralih kearah sesorang yang mendekat. Gadis cantik berambut pirang dan berkulit putih mendekati mereka. "Aku dengar ada yang ingin pergi makan? Apa aku boleh ikut?" Nay tersenyum sumringah "Aku yang ingin makan. Ayo, aku sudah sangat lapar."
Dalam hitungan detik mereka sudah berjalan keluar bersama. Membicarakan hal-hal menarik, tertawa bersama, Bak kawan lama yang kembali bertemu, mereka cepat sekali akrab.
Lantas bagaimana dengan Aira? Tentu saja ia pergi ke Musholla. Langkah anggun itu berjalan sendiri dengan mukena di tangan kanannya. Sebuah suara lembut melantunkan asmaul husna sepanjang jalan.
Melepaskan alas kaki, ia terduduk diantara tulisan "Batas Suci". Matanya terfokus pada dinding Musholla, tersenyum ikhlas ia berucap pelan "Alhamdulillah, hari ini aku masih bisa membaca lafadz nama-Mu Tuhanku."
Perlahan bulu mata lentik itu terbasahi dinginnya air wudhu. Bibir tipis merah muda kini melantunkan sebuah do'a. Melangkahlah kaki jenjangnya menuju arah sang imam. Dengan penuh keyakinan mulutnya berucap "Ushali Shunatad dhuha ..."

***

"Kenapa kamu lepas kerudungmu?" Gadis beramput pirang tadi kini berpose serius.
"Kenapa kamu baru bertanya? Kita sudah sampai kantin dari tadi Yona." Jawab Nay dengan polosnya.
"Aku hanya baru tersadar. Apakah enak memakai kerudung, maksudku hijab, yaa begitulah orang-orang menyebutnya."
"Apa kamu bukan seorang muslim? Kenapa pertanyaanmu seperti itu?"
"Aku tidak tahu, aku rasa aku tidak punya agama. Tetapi tertulis islam pada KTP ayah dan ibuku."
"Sungguh? Bagaimana bisa kamu bicara begitu?"
"Aku tidak pernah melakukan sholat seperti layaknya seorang muslim lakukan. Orang tuaku tidak pernah mengajarkannya. Aku tidak tahu cara membaca Al-Qur'an dan juga menggunakan hijab. Aku tidak pernah berpuasa ataupun berzakat dan hal-hal aneh yang lainnya. Aku tidak tahu apa gunanya itu semua, sampai kini keluargaku baik-baik saja dan tidak pernah bermasalah dalam hal ekonomi."
"Apakah benar begitu?" Nay sedikit kaget.
"Ya, sekarang lihatlah si Anak Nabi itu. Dia adalah seorang mukmin. Tapi dia sangat aneh sama seperti aturan dalam agamanya, dia juga tampak bukan orang kaya. Bahkan lebih terlihat seperti teroris."
Hening, Nay mulai termenung. Semua ucapan Yona perlahan ia cerna, ia mulai menemukan bukti-bukti bahwa ucapan Yona itu benar. Ibu Nay adalah seorang mukmin yang alim, sholat lima waktu tak pernah beliau tinggalkan dan sholat shunnah selalu beliau jalankan namun ibunya bukanlah orang yang kaya, dan juga jarang sekali beruntung dalam segala hal. Apa perlu semua itu? Apa tidak cukup hanya berdo'a saja? Toh nasib ibu dan Nay juga sama saja.
"Emmm ... aku melepas kerudungku karena aku gerah, lagipula aku berhijab karena ibuku yang memaksaku. Sebenarnya aku masih tidak rela rambut indahku ini tertutupi." jawab Nay datar.
"Benar, rambutmu memang indah. Sayang sekali jika harus tertutup hijab."
"Aku tahu, Banyak yang bilang begitu."
Mereka berdua tertawa
***

Sang penerang menyembunyikan rautnya, tergantikan rembulan pertanda petang mulai datang. Dalam suram Nay berjalan perlahan sendirian,  menuju tempat persinggahan. Dalam diamnya ia merenung, terngiang pendapat Yona akan agamanya. Otaknya memikirkan apa guna sholat, apa guna berpuasa, apa guna bersedekah toh Tuhan juga tidak akan mengabulkan doanya. Banyak sekali aturan dalam islam dan itu hanya membuang-buang waktu. Bersedekah malah membuat miskin. "Bagaimana bisa ibu bilang sebagian harta kita milik orang lain?" Gumamnya, kemudian batinnya melanjutkan "Ibu yang bekerja, itu harta ibu. Kenapa ada hak orang lain didalamnya? Islam itu memang aneh dan semua aturannya tidak berguna."
Pemikirannya panjang bersamaan dengan langkahnya yang panjang, halaman rumahnya mulai tampak, jemari lentik Nay membuka engsel pintu. Melepas sepatu dan menutup engselnya kembali. Mendengus kesal lantaran sang ibu belum pulang, padahal ini sudah cukup larut malam.
Meletakkan ransel berpeluru ilmu pada tempatnya, kemudian ia merebahkan tubuh lelah itu. Udara malam berlarian melalui ventilasi, merayu Nay untuk terlelap. Jarum jam menunjuk angka sembilan. Terdengar suara langkah kaki, seseorang membuka pintu kamar. Sosok itu membelai rambut Nay sangat lembut namun tetap membuat gadis manis itu terbangun.
"Ibu? apa ibu baru pulang?" Suara Nay terdengar serak. Sang ibu mengangguk lalu tersenyum manis. "Apa Nay sudah mandi?" Tanya wajah lembut itu. "Iya bu, Nay mandi di sekolah, hari ini full day school."
"Apa Nay sudah sholat?" Sang ibu menatap Nay lebih dalam, nada bicaranya seakan meminta jawaban "Ya" dari putrinya.
Seketika raut wajah Nay berubah. Serius, kesal, sedih, dan tentunya takut. Takut ibunya marah, takut ibu menyuruhnya beralih dari tempat ternyaman itu. Sedikit ragu ia menjawab "Belum bu." Yang ia yakini tentu saja terjadi. Ibunya yang semula tersenyum manis kini menaikan alisnya. senyumannya berubah, ibunya tampak marah.
"Apa kamu lupa apa yang ibu lakukan padamu ketika kamu meninggalkan sholat. Apa kamu mau itu terjadi lagi? Sekarang berdiri dan pergi sholat!" Nada suara ibu meninggi.
Nay yang semula merebahkan tubuhnya kini terduduk. Wajahnya memerah "Tidak mau bu!!" Teriak Nay. Mendengarnya, tanpa sadar tangan sang ibu terangkat. "Apa ibu mau memukulku?" ucap Nay dengan nada tinggi yang membuat ibunya semakin marah.
"Atas dasar apa ibu mau memukulku? hanya karena Nay tidak mau sholat? Hanya karena itu? Apa islam mengajarkan kekerasan? Kalau memang  begitu kenapa ibu menganutnya? Apa gunanya semua itu bu? Sholat, puasa, sedekah, mengaji itu semua tidak ada efeknya, toh kita juga tetap begini. Ya miskin, ya tertindas!" Nay meneriaki ibunya, nafasnya tak teratur, ia marah.
"Bagaimana bisa kamu berucap seperti itu Nay? mulutmu itu benar-benar kotor! Tidak ada gunanya ibu mendidikmu! Tidak ada gunanya ibu menyekolahkanmu! Oh astaga Nay.. Ibu mengenalkanmu islam sejak kamu masih belum mampu berbicara. Bagaimana bisa kamu tidak percaya islam? Bagaimana bisa kamu tidak percaya pada agama Allah nak?"
Suara sang ibu semakin keras, wajahnya memerah, mulutnya bergetar, Ibu benar-benar marah dan seakan ingin menangis.
"Aku tahu Tuhan itu ada bu!  Tapi apakah penting untuk mempercayai agamanya?"

**Flashback End**

Sang Mentari tak terlalu menampakkan tubuhnya, tersusul kumpulan awan hitam yang kemudian menangis bersama. Sekelompok walet berhamburan mencari tempat berteduh. Hari itu Nay berangkat lebih pagi dari biasanya. Sebuah payung merah muda melingkup diatas kepalanya. Tak ada senyum pagi ini, perasaan Nay sedang kacau.
Sorot matanya beralih pada sosok berkerudung di sebrang jalan. Sepertinya ia mengenal tas ransel itu. "Itu Aira." Nay meyakinkan dirinya. Ia berjalan kearah Aira yang tampak sedang berteduh disana.
"Kenapa kamu tidak bawa payung Aira." Tanya Nay penasaran.
"Aku hanya lupa." Aira tersenyum manis namun terlintas suatu kebohongan pada tatapan matanya. Sepuluh menit yang lalu seorang Ibu dengan dua anaknya telah menerima payung pemberian Aira. Ada rasa tidak tega saat Aira bertemu mereka, itulah alasannya.
"Ayo berangkat bersamaku. Payung ini terlalu besar untukku sendiri." Nay tersenyum. Kemudian mereka berjalan bersama.
"Aira apa kamu tidak pernah belajar? Kenapa semua bukumu kamu letakkan di loker kelas?" Rasa penasaran itu akhirnya terucap dari mulut Nay.
Aira terdiam sejenak. Kemudian tanpa ragu ia menjawab "Aku hanya ingin menggapai surga Allah melalui dunia-Nya" jawabnya singkat kemudian ia tersenyum lebar.
Nay yang semula diam kini menampakkan raut tersentak. Seketika ingatan akan pertengkaran dengan ibunya semalam terlintas kembali bak potongan-potongan film. "Surga Allah." Batinnya.
"Apa benar surga dan neraka yang mereka bicarakan itu benar-benar ada?  Apa kamu yakin?" Nay tampak seperti anak polos yang tidak tahu apa-apa.
Aira  terkekeh. "Kamu ini kenapa Nay? Aku yakin ibumu sudah mengajarkannya sejak kamu kecil. Surga dan Neraka itu sudah pasti ada. Kalau tidak ada lantas kemana perginya orang-orang yang telah mati itu? Itu semua sudah tertuliskan pada Al-Qur'an, kitab suci kita."
"Apa kita bisa mempercayai Al-Qur'an? Apa itu asli kitab dari Allah? Apa kamu serius?" Nay semakin penasaran.
"Nay, banyak sekali seorang alim di dunia ini. Bayangkan jika Al-Qur'an itu sudah tidak asli, apa yang mereka lakukan? Tentu saja akan terjadi peperangan dimana-mana, menuntut kebenaran Al-Qur'an. Kamu ini seorang muslim, tidak boleh meragukan kesucian Al-Qur'an."
"Kenapa, kenapa seperti itu? Kenapa harus islam yang kita anut? kenapa Aira?"
Aira menghentikan langkahnya. "Nay, apa yang terjadi padamu? Kemana hijabmu? Kenapa pertanyaanmu seperti itu?"
Langkah Nay ikut terhenti spontan ia berbalik ke arah Aira "Kamu tinggal jawab saja Aira!!" tanpa sadar Nay berteriak. Rupanya pertanyaan Aira memancing emosinya. "Kenapa kamu sangat percaya islam? Kenapa ibuku sama sepertimu? Kenapa kalian mempercayai aturan-aturan aneh itu? Apa tidak cukup hanya percaya adanya Tuhan? Ibuku seorang alim tapi kenapa nasibnya sama saja? Jawab Aira!!" Nay kembali berteriak, nafasnya tak teratur, menetes air dari matanya, tubuhnya lemas tak berdaya, payung merah muda itu terlepas dari genggaman, ia terduduk ditengah jalanan sepi nan basah. Kini mereka berdua mulai basah kehujanan.
Aira ikut duduk disamping Nay, ia melepaskan senyumannya dan menepuk-nepuk bahu Nay yang sedang menangis. Kemudian ia berucap pelan "Nay, percayailah yang harus kamu percayai. Aku tidak bisa memaksamu untuk mempercayai islam. Tapi untuk menjawab pertanyaanmu aku punya banyak alasan. Sama seperti ibumu yang meyakini agama islam. Nay, Al-Qur'an itu langsung dari Allah dan semua isinya itu asli, tidak ada keraguan padanya. Sebagai pedoman dan petunjuk hidup kita, yakni menuju surga-Nya Allah. Kita tidak selamanya ada di dunia. Nah, agar mampu menuju surga Allah, tertulis dalam Al-Qur'an untuk menganut satu agama yang menjadi Rahmatan Lil Alamin atau rahmat bagi seluruh alam. Yaitu islam, untuk itulah kita dianjurkan menganutnya karena itu langsung dari Allah. Aturan dalam islam bukannya aneh dan tanpa sebab, semua itu ada makna dan hikmahnya. Sedekah bukannya membuat kita menjadi miskin, tapi membersihkan harta kita. Banyak orang yang kaya karena rajin bersedekah Nay, semua rezeki itu Allah yang mengatur. Begitu pula dengan hukum berbusana, sudah tertulis didalam Al-Qur'an untuk menutup aurat dan mengenakan hijab yang syar'i. Karena itu aku sangat kecewa ketika kamu melepaskan hijabmu tanpa rasa enggan. Yakinlah, aku yakin kamu pasti pernah mengalami suatu kejadian yang membuatmu sangat bersyukur, saat ini imanmu hanya sedang diuji-Nya, dan bisikan syaiton membuat otakmu mengumpulkan bukti-bukti bahwa islam itu buruk, hingga kamu sedikit tergoyahkan. Jangan pernah berfikir Allah tidak mengabulkan do'amu, karena Allah menjawab do'a dengan tiga jawaban, pertama "Ya, Aku turuti", Kedua "tidak, itu tidak baik untukmu akan Ku-berikan yang lebih baik." dan yang ketiga "Nanti, Aku ingin lihat usahamu." Kita hanya perlu bersabar semua akan indah pada waktunya."
Aira menghela nafas panjang kemudian ia memeluk Nay. "Nah, sekarang kenakan hijabmu, dan segera berangkat sekolah, kita akan terlambat." Mendengar pernyataan Aira, Nay menangis semakin kencang dalam hujan, hatinya tertampar, mulutnya terkunci tak bisa membantah apapun. Muncul rasa penyesalan dalam hatinya. Ia sangat menyesal membentak ibunya, menyesal tidak percaya pada ibunya, menyesal mengecewakan ayahnya di surga, menyesal karena membenci islam, menyesal karena ia baru menyesalinya sekarang.
***

"Ibu, apa ibu ingin aku yang menjadi imam?" Nay tersenyum, menampakan wajah manis dihadapan ibunya. Gadis itu kini telah berubah, ia bukanlah Nay yang senang mengumbar auratnya, bukanlah Nay yang senang menunda waktu sholat, dan bukanlah Nay yang membenci islam. Nay yang sekarang adalah putri kesayangan ibu dan juga sahabat Aira. Sahabat untuk menuju surga Allah bersama.
"Tentu saja, ayo imami ibu sebelum waktu maghrib usai." Ibu Nay membalas senyuman putrinya. Raut wajah ibu tampak sangat bahagia, ia sangat bersyukur Allah masih menyayangi Nay. Dalam senyumnya itu berlinang air di sudut matanya, ibu Nay menangis. Namun tangisan itu merupakan tangisan kebahagiaan.










Yuhuuuuuuu..... alhamdulillah dibaca sampe selesai hihihi ..
semoga bisa bermanfaat ya, bisa bantu ngerjain tugas kalo perlu hahaha ...
thank you ^^