Kali ini aku bakal ngepost cerpen karya aku sendiri hihihi ...
semoga aja kalian suka dan juga bermanfaat.
dan maaf juga kalo nanti ada yang typo hahaha...
maklum ngantuk malem malem bikin :v
Happy Readinggggg :)
Si
Anak Nabi
"Aku tahu Tuhan itu ada bu! Tapi apakah penting untuk mempercayai
agamanya?"
Gadis itu meneriaki orang yang
dipanggilnya ibu. Sorot matanya tajam dan seketika memerah, mulutnya bergetar,
tampak setitik air disudut matanya. Kemudian kaki nya melangkah mundur,
berbalik dan meninggalkan bilik.
Sang ibu tertegun. Marah, Sedih,
Kecewa, tak tahu disebut apa persaannya saat itu. Kaget, Ia benar benar
tersentak. Tanpa sadar, air matanya turun. Menetes perlahan namun deras dan
terisak. Bagaimana tidak? Inilah kali pertama putri bungsunya membentak tubuh
ringkih itu. Pernyataan yang keluar dari mulut gadis itu sungguh memilukan.
Terngiang selalu dan menggores batinnya.
"Ya Allah, apakah aku sudah gagal
menjadi ibunya?
**Flashback**
"Arnaya
Cheonsa." Gumam gadis itu sembari menuliskan namanya pada buku-buku
barunya. Benar, semester baru menantinya.
"Nayyyy!
Sholat dulu nak!" Suara keibuan itu menggema dari balik bilik. Menghela
nafas panjang gadis itu berucap "Iya bu! Nanti du.." kalimatnya
terhenti. Sang ibu sudah berada di samping nya. "Nanti dulu
maksudnya?" Ucapnya.Gadis itu menunduk. "Nay, Sholat itu wajib nak.
Wajib! Mau tidak mau harus dikerjakan, mampu tidak mampu harus didirikan!
Berapa kali ibu harus bicara soal ini?"
"Nay
tau bu." Dengan muka masam, ia berjalan menuju tempat wudhu. Ibunya
tersenyum heran.
"Kenapa ia belum berubah
juga?" ucapnya lirih, sambil menggelengkan kepala.
***
"Selamat pagi bu." Nay turun
dari tangga dan langsung menempel pada ibunya. "Kenapa tiba-tiba Nay
memeluk ibu?" Ucap sang ibu kaget. "Nay hanya gugup bu. Hari ini
semester baru dimulai, dan temanku berganti. Aku harus beradaptasi dengan kelas
baru."Semakin erat sang ibu dipeluknya. Ibunya tersenyum, memandangi wajah
cantik putrinya. "Asalkan kamu berbuat baik, maka mereka akan baik
padamu." Nay mengangguk.
Melepaskan
pelukan, mereka duduk di meja makan. Hening, hanya dentingan piring dan sendok
yang terdengar samar-samar. Benar saja, mereka hanya tinggal berdua di kota
ini. Kota yang penuh akan kenangan.
Kakaknya bekerja sebagai duta Indonesia
di Korea Selatan. Sang ayah menebaskan separuh umurnya disini, lengkap dengan
seragam dinas nya ia terkapar bersimbah darah. Meninggalkan sebuah kerudung
dalam tas yang digenggamnya. Nay lah yang melihat kejadian lima tahun silam
itu, hal yang membuatnya pobia akan cairan merah kental yang disebut darah.
Tentu saja ia menangis. Mengetahui fakta bahwa ayahnya tak bersalah. Mereka
pembunuh yang dibayar untuk menyingkirkan ayah. Ya, tentu saja itu orang yang
membenci ayah! ayah tidak punya musuh! Tapi mereka memusuhi ayah. Hal yang
harus ia terima adalah ia terlahir sebagai anak seorang jaksa. Mereka hanya
orang yang tidak tau apa itu kenyataan. Sehingga menyalahkan ayah atas
kenyataan bahwa mereka bersalah.
"Ibu bilang ayah pergi ke sebuah
toko untuk menghadiahi ulang tahun Nay. Kerudung itu sangat indah kata ibu,
berwarna merah kesukaan Nay, kainnya dingin dari sutra. Ibu bilang Nay terlihat
sangat cantik jika memakainya. Tapi... kenapa ibu membuangnya?"
***
"Apa bangku ini kosong?" Nay
menunjuk bangku paling depan dekat dengan pintu. Seorang gadis cantik menatap
nay dan mengangguk. Kulitnya putih namun pucat. Nay pernah melihatnya, ia
adalah tetangga kelas Nay ketika ia kelas sepuluh. Gadis itu memang aneh, ia
tidak pernah bersosialisasi layaknya remaja pada umumnya. Hanya ada Al-qur'an
dan mukena di dalam tasnya, semua bukunya tertata rapi di loker kelas. Semua
waktu luangnya ia habiskan di Musholla. Anak nabi, begitu mereka menyebutnya.
Namanya Aira, dan sekarang ia adalah teman sebangku Nay.
"Kelas
ini berbeda." Gumam Nay memandangi ruang kelas barunya. Bak pemakaman
umum, sepi suram.
"Aira
apa kamu tidak lapar?Apa tidak bisa kita pergi makan?" Celetus Nay
mengajak bicara. Aira tersenyum
"Maaf Aku puasa." Nay mendengus "Ibuku juga sangat senang
berpuasa. Padahal itu sangat menyiksa." Aira hanya diam, namun raut
wajahnya menunjukkan ia tidak senang akan ucapan Nay, raut wajah itu seketika
berubah menjadi kaget. "Astaghfirullah!!" Ucap Aira. "Kenapa
kamu lepas hijabmu Nay?"
Nay
tertawa. "Gerah sekali disini. Lagipula tidak ada ibu kan disini."
merapikan rambut, Nay tersadar "Eh? Kamu mengajakku bicara? Aku kira kamu
tidak akan bicara jika tidak ditanya."
Mendengarnya
Aira kembali terdiam. Tatapan mereka beralih kearah sesorang yang mendekat.
Gadis cantik berambut pirang dan berkulit putih mendekati mereka. "Aku
dengar ada yang ingin pergi makan? Apa aku boleh ikut?" Nay tersenyum
sumringah "Aku yang ingin makan. Ayo, aku sudah sangat lapar."
Dalam hitungan detik mereka sudah
berjalan keluar bersama. Membicarakan hal-hal menarik, tertawa bersama, Bak
kawan lama yang kembali bertemu, mereka cepat sekali akrab.
Lantas
bagaimana dengan Aira? Tentu saja ia pergi ke Musholla. Langkah anggun itu
berjalan sendiri dengan mukena di tangan kanannya. Sebuah suara lembut
melantunkan asmaul husna sepanjang jalan.
Melepaskan
alas kaki, ia terduduk diantara tulisan "Batas Suci". Matanya
terfokus pada dinding Musholla, tersenyum ikhlas ia berucap pelan
"Alhamdulillah, hari ini aku masih bisa membaca lafadz nama-Mu
Tuhanku."
Perlahan bulu mata lentik itu terbasahi
dinginnya air wudhu. Bibir tipis merah muda kini melantunkan sebuah do'a.
Melangkahlah kaki jenjangnya menuju arah sang imam. Dengan penuh keyakinan
mulutnya berucap "Ushali Shunatad dhuha ..."
***
"Kenapa
kamu lepas kerudungmu?" Gadis beramput pirang tadi kini berpose serius.
"Kenapa
kamu baru bertanya? Kita sudah sampai kantin dari tadi Yona." Jawab Nay
dengan polosnya.
"Aku
hanya baru tersadar. Apakah enak memakai kerudung, maksudku hijab, yaa
begitulah orang-orang menyebutnya."
"Apa
kamu bukan seorang muslim? Kenapa pertanyaanmu seperti itu?"
"Aku
tidak tahu, aku rasa aku tidak punya agama. Tetapi tertulis islam pada KTP ayah
dan ibuku."
"Sungguh?
Bagaimana bisa kamu bicara begitu?"
"Aku
tidak pernah melakukan sholat seperti layaknya seorang muslim lakukan. Orang
tuaku tidak pernah mengajarkannya. Aku tidak tahu cara membaca Al-Qur'an dan
juga menggunakan hijab. Aku tidak pernah berpuasa ataupun berzakat dan hal-hal
aneh yang lainnya. Aku tidak tahu apa gunanya itu semua, sampai kini keluargaku
baik-baik saja dan tidak pernah bermasalah dalam hal ekonomi."
"Apakah
benar begitu?" Nay sedikit kaget.
"Ya, sekarang lihatlah si Anak
Nabi itu. Dia adalah seorang mukmin. Tapi dia sangat aneh sama seperti aturan
dalam agamanya, dia juga tampak bukan orang kaya. Bahkan lebih terlihat seperti
teroris."
Hening, Nay mulai termenung. Semua
ucapan Yona perlahan ia cerna, ia mulai menemukan bukti-bukti bahwa ucapan Yona
itu benar. Ibu Nay adalah seorang mukmin yang alim, sholat lima waktu tak
pernah beliau tinggalkan dan sholat shunnah selalu beliau jalankan namun ibunya
bukanlah orang yang kaya, dan juga jarang sekali beruntung dalam segala hal.
Apa perlu semua itu? Apa tidak cukup hanya berdo'a saja? Toh nasib ibu dan Nay
juga sama saja.
"Emmm
... aku melepas kerudungku karena aku gerah, lagipula aku berhijab karena ibuku
yang memaksaku. Sebenarnya aku masih tidak rela rambut indahku ini
tertutupi." jawab Nay datar.
"Benar,
rambutmu memang indah. Sayang sekali jika harus tertutup hijab."
"Aku
tahu, Banyak yang bilang begitu."
Mereka
berdua tertawa
***
Sang penerang menyembunyikan rautnya,
tergantikan rembulan pertanda petang mulai datang. Dalam suram Nay berjalan
perlahan sendirian, menuju tempat
persinggahan. Dalam diamnya ia merenung, terngiang pendapat Yona akan agamanya.
Otaknya memikirkan apa guna sholat, apa guna berpuasa, apa guna bersedekah toh
Tuhan juga tidak akan mengabulkan doanya. Banyak sekali aturan dalam islam dan
itu hanya membuang-buang waktu. Bersedekah malah membuat miskin.
"Bagaimana bisa ibu bilang sebagian harta kita milik orang lain?"
Gumamnya, kemudian batinnya melanjutkan "Ibu yang bekerja, itu harta ibu.
Kenapa ada hak orang lain didalamnya? Islam itu memang aneh dan semua aturannya
tidak berguna."
Pemikirannya panjang bersamaan dengan
langkahnya yang panjang, halaman rumahnya mulai tampak, jemari lentik Nay
membuka engsel pintu. Melepas sepatu dan menutup engselnya kembali. Mendengus
kesal lantaran sang ibu belum pulang, padahal ini sudah cukup larut malam.
Meletakkan ransel berpeluru ilmu pada
tempatnya, kemudian ia merebahkan tubuh lelah itu. Udara malam berlarian
melalui ventilasi, merayu Nay untuk terlelap. Jarum jam menunjuk angka
sembilan. Terdengar suara langkah kaki, seseorang membuka pintu kamar. Sosok
itu membelai rambut Nay sangat lembut namun tetap membuat gadis manis itu
terbangun.
"Ibu?
apa ibu baru pulang?" Suara Nay terdengar serak. Sang ibu mengangguk lalu
tersenyum manis. "Apa Nay sudah mandi?" Tanya wajah lembut itu.
"Iya bu, Nay mandi di sekolah, hari ini full day school."
"Apa Nay sudah sholat?" Sang
ibu menatap Nay lebih dalam, nada bicaranya seakan meminta jawaban
"Ya" dari putrinya.
Seketika
raut wajah Nay berubah. Serius, kesal, sedih, dan tentunya takut. Takut ibunya
marah, takut ibu menyuruhnya beralih dari tempat ternyaman itu. Sedikit ragu ia
menjawab "Belum bu." Yang ia yakini tentu saja terjadi. Ibunya yang
semula tersenyum manis kini menaikan alisnya. senyumannya berubah, ibunya
tampak marah.
"Apa
kamu lupa apa yang ibu lakukan padamu ketika kamu meninggalkan sholat. Apa kamu
mau itu terjadi lagi? Sekarang berdiri dan pergi sholat!" Nada suara ibu
meninggi.
Nay
yang semula merebahkan tubuhnya kini terduduk. Wajahnya memerah "Tidak mau
bu!!" Teriak Nay. Mendengarnya, tanpa sadar tangan sang ibu terangkat.
"Apa ibu mau memukulku?" ucap Nay dengan nada tinggi yang membuat
ibunya semakin marah.
"Atas
dasar apa ibu mau memukulku? hanya karena Nay tidak mau sholat? Hanya karena
itu? Apa islam mengajarkan kekerasan? Kalau memang begitu kenapa ibu menganutnya? Apa gunanya
semua itu bu? Sholat, puasa, sedekah, mengaji itu semua tidak ada efeknya, toh
kita juga tetap begini. Ya miskin, ya tertindas!" Nay meneriaki ibunya,
nafasnya tak teratur, ia marah.
"Bagaimana
bisa kamu berucap seperti itu Nay? mulutmu itu benar-benar kotor! Tidak ada
gunanya ibu mendidikmu! Tidak ada gunanya ibu menyekolahkanmu! Oh astaga Nay..
Ibu mengenalkanmu islam sejak kamu masih belum mampu berbicara. Bagaimana bisa
kamu tidak percaya islam? Bagaimana bisa kamu tidak percaya pada agama Allah
nak?"
Suara sang ibu semakin keras, wajahnya
memerah, mulutnya bergetar, Ibu benar-benar marah dan seakan ingin menangis.
"Aku tahu Tuhan itu ada bu! Tapi apakah penting untuk mempercayai
agamanya?"
**Flashback End**
Sang
Mentari tak terlalu menampakkan tubuhnya, tersusul kumpulan awan hitam yang
kemudian menangis bersama. Sekelompok walet berhamburan mencari tempat
berteduh. Hari itu Nay berangkat lebih pagi dari biasanya. Sebuah payung merah
muda melingkup diatas kepalanya. Tak ada senyum pagi ini, perasaan Nay sedang
kacau.
Sorot matanya beralih pada sosok
berkerudung di sebrang jalan. Sepertinya ia mengenal tas ransel itu. "Itu
Aira." Nay meyakinkan dirinya. Ia berjalan kearah Aira yang tampak sedang
berteduh disana.
"Kenapa
kamu tidak bawa payung Aira." Tanya Nay penasaran.
"Aku
hanya lupa." Aira tersenyum manis namun terlintas suatu kebohongan pada
tatapan matanya. Sepuluh menit yang lalu seorang Ibu dengan dua anaknya telah
menerima payung pemberian Aira. Ada rasa tidak tega saat Aira bertemu mereka,
itulah alasannya.
"Ayo
berangkat bersamaku. Payung ini terlalu besar untukku sendiri." Nay
tersenyum. Kemudian mereka berjalan bersama.
"Aira
apa kamu tidak pernah belajar? Kenapa semua bukumu kamu letakkan di loker
kelas?" Rasa penasaran itu akhirnya terucap dari mulut Nay.
Aira
terdiam sejenak. Kemudian tanpa ragu ia menjawab "Aku hanya ingin
menggapai surga Allah melalui dunia-Nya" jawabnya singkat kemudian ia
tersenyum lebar.
Nay
yang semula diam kini menampakkan raut tersentak. Seketika ingatan akan
pertengkaran dengan ibunya semalam terlintas kembali bak potongan-potongan
film. "Surga Allah." Batinnya.
"Apa
benar surga dan neraka yang mereka bicarakan itu benar-benar ada? Apa kamu yakin?" Nay tampak seperti anak
polos yang tidak tahu apa-apa.
Aira terkekeh. "Kamu ini kenapa Nay? Aku
yakin ibumu sudah mengajarkannya sejak kamu kecil. Surga dan Neraka itu sudah
pasti ada. Kalau tidak ada lantas kemana perginya orang-orang yang telah mati
itu? Itu semua sudah tertuliskan pada Al-Qur'an, kitab suci kita."
"Apa
kita bisa mempercayai Al-Qur'an? Apa itu asli kitab dari Allah? Apa kamu
serius?" Nay semakin penasaran.
"Nay,
banyak sekali seorang alim di dunia ini. Bayangkan jika Al-Qur'an itu sudah
tidak asli, apa yang mereka lakukan? Tentu saja akan terjadi peperangan
dimana-mana, menuntut kebenaran Al-Qur'an. Kamu ini seorang muslim, tidak boleh
meragukan kesucian Al-Qur'an."
"Kenapa,
kenapa seperti itu? Kenapa harus islam yang kita anut? kenapa Aira?"
Aira
menghentikan langkahnya. "Nay, apa yang terjadi padamu? Kemana hijabmu?
Kenapa pertanyaanmu seperti itu?"
Langkah Nay ikut terhenti spontan ia
berbalik ke arah Aira "Kamu tinggal jawab saja Aira!!" tanpa sadar
Nay berteriak. Rupanya pertanyaan Aira memancing emosinya. "Kenapa kamu
sangat percaya islam? Kenapa ibuku sama sepertimu? Kenapa kalian mempercayai
aturan-aturan aneh itu? Apa tidak cukup hanya percaya adanya Tuhan? Ibuku
seorang alim tapi kenapa nasibnya sama saja? Jawab Aira!!" Nay kembali
berteriak, nafasnya tak teratur, menetes air dari matanya, tubuhnya lemas tak
berdaya, payung merah muda itu terlepas dari genggaman, ia terduduk ditengah
jalanan sepi nan basah. Kini mereka berdua mulai basah kehujanan.
Aira ikut duduk disamping Nay, ia
melepaskan senyumannya dan menepuk-nepuk bahu Nay yang sedang menangis.
Kemudian ia berucap pelan "Nay, percayailah yang harus kamu percayai. Aku
tidak bisa memaksamu untuk mempercayai islam. Tapi untuk menjawab pertanyaanmu
aku punya banyak alasan. Sama seperti ibumu yang meyakini agama islam. Nay,
Al-Qur'an itu langsung dari Allah dan semua isinya itu asli, tidak ada keraguan
padanya. Sebagai pedoman dan petunjuk hidup kita, yakni menuju surga-Nya Allah.
Kita tidak selamanya ada di dunia. Nah, agar mampu menuju surga Allah, tertulis
dalam Al-Qur'an untuk menganut satu agama yang menjadi Rahmatan Lil Alamin atau
rahmat bagi seluruh alam. Yaitu islam, untuk itulah kita dianjurkan menganutnya
karena itu langsung dari Allah. Aturan dalam islam bukannya aneh dan tanpa
sebab, semua itu ada makna dan hikmahnya. Sedekah bukannya membuat kita menjadi
miskin, tapi membersihkan harta kita. Banyak orang yang kaya karena rajin
bersedekah Nay, semua rezeki itu Allah yang mengatur. Begitu pula dengan hukum
berbusana, sudah tertulis didalam Al-Qur'an untuk menutup aurat dan mengenakan
hijab yang syar'i. Karena itu aku sangat kecewa ketika kamu melepaskan hijabmu
tanpa rasa enggan. Yakinlah, aku yakin kamu pasti pernah mengalami suatu
kejadian yang membuatmu sangat bersyukur, saat ini imanmu hanya sedang
diuji-Nya, dan bisikan syaiton membuat otakmu mengumpulkan bukti-bukti bahwa
islam itu buruk, hingga kamu sedikit tergoyahkan. Jangan pernah berfikir Allah
tidak mengabulkan do'amu, karena Allah menjawab do'a dengan tiga jawaban, pertama
"Ya, Aku turuti", Kedua "tidak, itu tidak baik untukmu akan
Ku-berikan yang lebih baik." dan yang ketiga "Nanti, Aku ingin lihat
usahamu." Kita hanya perlu bersabar semua akan indah pada waktunya."
Aira menghela nafas panjang kemudian ia
memeluk Nay. "Nah, sekarang kenakan hijabmu, dan segera berangkat sekolah,
kita akan terlambat." Mendengar pernyataan Aira, Nay menangis semakin
kencang dalam hujan, hatinya tertampar, mulutnya terkunci tak bisa membantah
apapun. Muncul rasa penyesalan dalam hatinya. Ia sangat menyesal membentak
ibunya, menyesal tidak percaya pada ibunya, menyesal mengecewakan ayahnya di
surga, menyesal karena membenci islam, menyesal karena ia baru menyesalinya
sekarang.
***
"Ibu, apa ibu ingin aku yang
menjadi imam?" Nay tersenyum, menampakan wajah manis dihadapan ibunya.
Gadis itu kini telah berubah, ia bukanlah Nay yang senang mengumbar auratnya,
bukanlah Nay yang senang menunda waktu sholat, dan bukanlah Nay yang membenci
islam. Nay yang sekarang adalah putri kesayangan ibu dan juga sahabat Aira.
Sahabat untuk menuju surga Allah bersama.
"Tentu saja, ayo imami ibu sebelum
waktu maghrib usai." Ibu Nay membalas senyuman putrinya. Raut wajah ibu
tampak sangat bahagia, ia sangat bersyukur Allah masih menyayangi Nay. Dalam
senyumnya itu berlinang air di sudut matanya, ibu Nay menangis. Namun tangisan
itu merupakan tangisan kebahagiaan.
Yuhuuuuuuu..... alhamdulillah dibaca sampe selesai hihihi ..
semoga bisa bermanfaat ya, bisa bantu ngerjain tugas kalo perlu hahaha ...
thank you ^^